Sabtu, 21 November 2009

BUDAYA MUDIK BUDAYA URBANISASI

           Mudik adalah kegiatan perantau untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan. Beban yang paling berat yang dihadapi dalam mudik adalah penyediaan sistem transportasinya karena secara bersamaan jumlah masyarakat menggunakan angkutan umum atau kendaraan melalui jaringan jalan yang ada sehingga sering mengakibatkan pemakai perjalanan menghadapi kemacetan maupun penundaan perjalanan.
        Mudik telah datang seiring tutup bulan Ramadhan kali ini, tidak jauh-jauh dari pemandangan sebelumnya. Meskipun himpitan ekonomi semakin sempit, mudik masih saja diminati para perantau. Kenapa demikian, ya memang dari dulu sudah seperti itu kalau boleh dibilang ini sudah semacam budaya atau tradisi. Namun sebenarnya jika ditanya dalam hati para pemudik pastinya ada alasan penting selain sekadar budaya yang tercipta karena kebiasaan.

          Mudik boleh juga diartikan secara sederhana dengan sebuah proses untuk menelusuri dan mengikatkan diri kepada akar sosial kita. Entah seorang pejabat tinggi, direktor maupun pengusaha, ketika dirantau tetap saja terlihat seperti bukan siapa-siapa, tetapi dikampung halaman sendiri kita dapat menghayati kembali makna kedudukan sebagai adik, paman, keponakan, saudara atau anak. Disitu kita dapat merasakan kembali kasih sayang tanpa pamrih, kasih sayang yang tulen bukan hanya sekedar basa-basi. 
          Dengan tinggal beberapa saat saja di desa, kita dapat menyadari kembali makna sosial dari seorang tetangga, sahabat ataupun saudara, jadi bukan hanya sekedar sebagai orang lain yang tinggal di seberang rumah atau di samping meja kerjanya seperti yang dilakukan di Kota. Di kampung halaman kita bisa mendapatkan kembali harkat dan nilai kemanusiaan.
Ada yang menarik terlepas dari makna mudik, sebenarnya pemudik dari kota secara tidak langsung telah menjadi Duta Kota. Selama mudik, perilaku perantau telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat desa. Orang-orang kota (perantau) secara tak sengaja akan memperkenalkannya ketika mudik. Misalnya, dering ponsel dimana-mana akan mengajarkan betapa pentingnya komunikasi langsung, secara cepat dan tanpa basa-basi. Mobil-mobil dengan berbagai gaya, ukuran dan simbol juga akan membawa banyak pengertian baru bagi mereka yang jauh di pelosok. Misalnya dengan melihat hal tersebut mereka bisa mengratikan hal tersebut sebagai arti sukses, tentang arti kerja keras, tetapi bisa pula tentang betapa telah tertinggalnya mereka.
          Bisa jadi orang-orang kota tersebut sangat ahli menceritakan bagaimana gaya hidup di kota yang begitu gemerlap. Sampai pada ukuran kesuksesan yang disimbolkan dengan merek jins buatan luar negeri seharga setengah kwintal beras mereka. 
          Setelah melalui musim mudik dan hari raya lebaran, tradisi yang kemudian terjadi dimasyarakat adalah musik urban atau urbanisasi. Menurut sebuah kamus urbanisasi adalah : perpindahan penduduk secara berduyun-duyun dari desa (kota kecil, daerah) ke kota besar (pusat pemerintahan). Tidak bisa dielakkan perpindahan penduduk dari desa ke kota dalam skala besar cenderung terjadi setelah libur hari raya.
          Para pemudik yang pulang ke kampung halaman, cenderung mengisahkan keberhasilan hidup di kota atau mengajak sesama warga kampung untuk mencari pekerjaan di kota besar. Pendatang telah memikat penduduk desa yang rata-rata menghadapi problem keterbatasan lapangan kerja, seiring dengan makin langkanya areal pertanian. Tanah pertanian yang semakin sempit, tingkat pengangguran yang semakin naik, kemiskinan karena tidak tersedianya lapangan kerja di desa, pembangunan desa yang sangat lambat, menjadi pelengkap alasan kenapa bekerja di desa semakin tidak menarik.
          Ditambah lagi, ada sementara pemudik yang menghamburkan hasil kerjanya secara membabi buta. Ini jelas menampakkan kesan bahwa siapa saja yang mengadu peruntungannya di kota akan berhasil dan terhormat. 


          Disamping itu, beberapa suku di Indonesia menganggap tradisi merantau sebagai “budaya khas”. Singkat kata, alasan-alasan seperti ini yang menambah motivasi untuk segera melakukan eksodus ke kota.
          Akhirnya, urbanisasi menjadi “satu-satunya” pilihan untuk mengubah nasib. Sektor pertanian yang selama ini digelutinya, dianggap sudah ketinggalan zaman dan tidak prospektif lagi. Fenomena ini jelas membawa implikasi bagi peningkatan aktivitas sektor informal di perkotaan. Karena hanya sektor inilah yang dapat menjadi tumpuan harapan bagi kaum urban, terutama bagi yang tidak memiliki keterampilan. Ahasil, lonjakan urban lebih tinggi dari arus mudik. Pulang satu orang, kembali ke kota dengan dua, tiga, empat atau lima orang sekaligus.
Jakarta sebagai kota dengan tujuan urban pertama, tradisi ini mengakibatkan lonjakan penduduk dalam jumlah tinggi. Padahal tidak semua orang yang datang ke Jakarta memiliki keahlian yang memadai. Mereka sekedar mengadu nasib. Akibatnya, tidak sedikit yang justru menganggur dan menambah beban kota Jakarta yang telah penuh sesak.
           Untuk mengatasi masalah ini pemerintah DKI menerapkan razia KTP. Bagi penghuni Jakarta haruslah memiliki KTP Jakarta pula. Seberapa efektif langkah ini, banyak mengundang tanya masyarakat. Beberapa pihak yakin cara ini efektif, namun beberapa pihak bersikap skeptis bahwa peraturan tersebut tidak adil. Mereka mengaggap tidak adil karena membatasi kesempatan setiap orang untuk mengadu nasib atau bekerja di Jakarta. Mereka berpendapat Jakarta adalah milik bangsa Indonesia. Jadi, mereka merasa pemerintah tidak berhak melarang para pendatang untuk mengadu nasib di Ibu Kota ini.
          Dalam siaran dimedia Gubernur DKI Jakarta meminta pemudik untuk tidak membawa sanak saudaranya ke Jakarta setelah kembali dari kampung halaman pada Lebaran tahun ini. Ditegaskannya, himbauan ini bukanlah satu larangan membawa keluarga atau tetangga ke Jakarta. Tapi kalau tidak memenuhi persyaratan kependudukan, tentunya juga akan terkena tindakan saat operasi kependudukan digelar. Operasi kependudukan sendiri, akan dilakukan Pemda DKI dua minggu setelah lebaran. Operasi ini rutin kita lakukan, agar peningkatan penduduk bisa dikendalikan. Setiap pelanggar akan dipulangkan ke kampung halamannya. Selain itu, menurutnya, jumlah pemudik tahun ini mengalami kenaikan sebesar 10 persen ketimbang tahun sebelumnya.
          Lonjakan ini sudah diantisipasi dengan ketersediaan angkutan umum yang memadai. Terlebih lagi dengan adanya mudik bareng yang dilakukan korporasi yang dinilai cukup membantu.
          Jakarta akan tetap menjadi kota urban selama pemeretaan pembangunan dan pemerataan ekonomi di negara ini belum tercapai. Logikanya seperti ini; alasan bagi banyak orang urban adalah ingin meningkatkan kesejahteraan hidup. Untuk meningkatkan kesejahteraan hidup adalah dengan bekerja dan berusaha. Mereka beranggapan bahwa ada banyak peluang bekerja dan berusaha di Jakarta. Maka wajar, jika orang "desa" masih beranggapan bahwa Jakarta ataupun kota-kota besar lain di Indonesia sebagai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Hanya saja, cita-cita meningkatkan kualitas hidup sebaiknya juga ditunjang oleh keahlian yang memadai, pemikiran matang dan mental yang kuat. Tanpa itu, rasanya merantau ke Jakarta hanya sekedar menambah jumlah penduduk. Maka, jika urbanisasi secara besar-besaran yang terjadi di Jakarta ini tidak diantisipasi lebih dini, berpotensi melahirkan persoalan-persoalan krusial seperti maraknya tindak kriminal, meledaknya pengangguran dan menjamurnya perkampungan kumuh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar