Sabtu, 21 November 2009

KRISIS KEADILAN = KRISIS KEPERCAYAAN

       Dalam beberapa pekan belakangan ini masyarakat dijejali dengan berita yang cukup membuat resah dan penuh kontroversi. Kabar datang dari para petinggi negara yang penuh dengan skandal dan rekayasa. Dimulai dengan ditangkapnya pimpinan KPK, Antasari Azhar. Beliau diduga dalang dari pembunuhan seorang direktur. Kemudian disusul ditangkapnya dua wakil ketua KPK yaitu Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto. Bibit-Chandra diduga melakukan penyalahgunaan wewenang,pemerasan dan penyuapan oleh penyidik Kapolri. Menyikapi hal ini, Presiden membentuk tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (tim 8) yang dipimpin anggota dewan pertimbangan Presiden, Adnan Buyung Nasution. Setelah diselidiki menurut tim 8 penyusunan berkas perkara Bibit-Chandra telah memenuhi syarat formalistik. Berita terbaru muncul dari mantan pejabat Kepolisian Wiliadi Wizard, bahwa ia ditekan oleh atasan dalam kepolisian bahwa ia harus merekayasa BAP penangkapan kasus Antasari dengan iming-iming ia tidak akan dipecat dan ia mengaku adanya tekanan dari atasan sebagai bentuk ancaman secara halus. Berita ini semakin membentuk argumen masyarakat bahwa memang benar adanya kriminalisasi KPK.
         Pada awalnya ini adalah sepenuhnya tugas pemerintah untuk mengwasi dan membrantas segala jenis tindak kekerasan, kejahatan, ketidakadilan yang terjadi termasuk korupsi di Indonesia. Namun sayangnya yang harus berperan sebagai penegak keadilan kadang justru menjadi aktor dalam tindak kecurangan yang terjadi.Yang lebih mengherankan bisa-bisanya para petinggi negara mau disutradarai oleh warga sipil, yang dalam hal ini contohnya Anggodo yang sebagai warga sipil justru membuat skenario hebat bagi pejabat untuk kepentingan pribadi. 
          Dalam kasus ini, miris rasanya sebagai warga sipil melihat dimana dua instansi pemerintah yang seharusnya bekerja sama dalam pembrantasan korupsi, justru malah saling menjatuhkan satu sama lain. Keprihatinan juga muncul dengan realita bahwa hukum bisa diperjualbelikan dan direkayasa sedemikian rupa sehingga bak alur sebuah cerita sinetron yang tak ada habisnya. Peristiwa ini menggambarkan sikap dan mental masyarakat yang mulai mentoleransi sikap tidak bermoral, ketidakjujuran dan rasa keadilan yang tidak terpenuhi. Sehingga, terciptalah krisis kepercayaan satu sama lain.
       Ketika semua dinilai dari apa yang hanya tampak oleh mata, kemanakah besarnya nilai sebuah rasa yang diukur oleh hati manusia. Ketika semua diukur oleh materi, kemanakah rasa keadilan yang tak terpenuhi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar